Tuesday, December 14, 2010

Supervolcano Yellowstone (Geodinamika)

Bumi ini bersifat dinamis, hal ini mempunyai bukti antara lain adanya pergerakan lempeng, aktivitas vulkanisme dan banyak bukti yang lainnya. Salah satu hal yang menunjukan suatu kedinamisan bumi adalah keberadaan hotspot. Hotspot adalah suatu tempat di muka bumi yang terbentuk akibat adanya aktivitas vulkanik akibat magma namun tidak berada pada zona pertemuan lempeng.
Daerah hotspot ini menghasilkan vulkanik yang sangat dinamis dan ada bentuk vulkanisme dengan skala yang sangat besar yang dinamakan supervolcano. Supervolcano adalah daerah vulkanik aktif di bumi ini yang berpotensi untuk mengahasilkan kegiatan vulkanisme dalam skala yang sangat besar. Di dunia ini supervolcano diantaranya terdapat pada : Long Valley (California USA), Valley Grande (New Mexico USA), Lake Taupo (New Zealand), Aira (Japan), Lake Toba, Siberian trabs (Russia), dan Yellowstone (USA)
Pada tulisan kali ini akan membahas Yellowstone supervolcano hal ini dikarenakan potensi kegiatan vulkanisme di Yellowstone yang sangat tinggi. Diperkirakan puluhan ribu tahun ini adalah siklus letusan Yellowstone yang sangat besar. Jadi dengan tulisan ini akan dipaparkan mengenai supervolcano Yellowstone, kondisi geologi-geofisik, dan potensi-potensi bencana yang mengiringi keberadaan supervolcano ini.
Tulisan kali ini bertujuan untuk memaparkan tentang kondisi Yelowstone sebagai supervolcano yang ada di bumi ini. Dengan paparan yang diberikan diharapkan dapat menjadi pengetahuan bagi kita senua tentang kebearadaan Yellowstone supervocano ini.
Selain itu, dengan tulisan ini dicoba untuk dipaparkan mengenai potensi-potensi bencana yang dapat terjadi pada daerah supervolcano. Pengetahuan tentang kebencanaan ini sangat berguna dalam melakukan mitigasi bencana yang dapat dilakukan. JAdi seperti apa kata pepatah “mencegah lebih baik daripada mengobati”. Dengan mengetahui dan mempunyai pengetahuan tentang Yelowstone supervolcano ini diharapkan pengetahuan dan kesadaran kita terkait keberadaan Yelowstone supervolcano meningkat.
2. Yellowstone
Yellowstone merupakan  daerah seluas 8983 km² di negara bagian Wyoming (96%), Montana (3%) dan Idaho (1%) Amerika Serikat. Di daerah ini menjadi sebuah tempat yang dilindungi dan menjadi taman nasional di Amerika. Taman nasional ini selain mempunyai potensi bencana yang besar juga menjadi pusat pariwisata yang sangat menarik bagi wisatawan asing maupun amerika tersendiri hal ini dikarenakan adanya geiser, dan panorama alam yang sangat indah di daerah Yellowstone.
yellowstoneGambar 1. Daerah Yellowstone
http:// www. solcomhouse.com/ yellowstone. htm
Supervolcano Yellowstone memiliki dapur magma yang pada beberapa titik relatif dekat ke permukaan (sekitar 8 km). Dapur magma ini terbentuk akibat desakan magma dari lapisan mantel bumi yang kemudian terlokalisasi di suatu daerah reservoir. Selain itu, Yellowstone juga memiliki kaldera yang cukup besar yaitu seluas 3960 km².
Saat ini, aktivitas vulkanisme di Yellowstone tidak berhenti begitu saja namun aktivitas itu masih terus berlanjut. Hal ini ditunjukkan oleh sejumlah ventilasi geothermal yang memunculkan geyser.
Sejarah
Sejak adanya Supervocano Yellowstone tujuh belas juta tahun lau telah terjadi ratusan letusan yang terjadi pada daerah ini. Namun dalam skala supervolcano tercatat ada tiga letusan yang sangat besardi kawasan ini yang telah membentuk kaldera. Letusan yang menghasilkan caldera ini bergerak dari Idaho kearah Timur laut hingga sekarang ada di daerah Wyoming. Pergerakan ini disebabkan adanya pergerakan lempeng yang terjadi. Sebagaimana kita ketahui bahwa Yellowstobe ternasuk hotspot dan hotspot ini letaknya selalu tetap. Namun, dikarenakan adanya pergerakan lempeng maka daerah hotspot ini terkesan yang bergerak padahal yang sebenarnya yang bergerak adalah daratannya bukan hotspotnya.
Adapun caldera-caldera yang terbentuk antara lain :
  1. Kaldera Island Park yang menghasilkan Huckleberry Ridge Tuff pada 2.1 juta tahun yang lalu,
    1. Kaldera Henry’s Fork yang menghasilkan Mesa Falls Tuff pada 1.3 juta tahun yang lalu,
    2. Kaldera Yellowstone yang menghasilkan Lava Creek Tuff pada 640 ribu tahun yang lalu
Potensi bencana
Sebagai daerah vulkano aktif maka Yellowstone mempunyai potensi kebencanaan yang cukup besar. Potensi-potensi bencana yang mungkin terjadi di daerah Yellowstone antara lain :
  1. Ledakan Hidrotermal
Bencana ini terjadi cukup sering dibanding dengan potensi bencana lainnya. Ledakan hidrotermal ini terjadi beberapa hingga puluhan kali dalam seratus tahun.
  1. Gempa Bumi besar
Gempa bumi ini relative lebih jarang terjadi daripada ledakan hidrotermal. Kejadian gempa ini biasanya sekali sampai beberapa kali dalam seratus tahun.
  1. Aliran Lava (100an per juta tahun)
Aliran lava ini lebih jarang lagi terjadinya yaitu hampir seratusan sampai jutaan taun sekali
  1. Erupsi yang memunculkan Kaldera
Ini adalah potensi bencana terbesar yang mungkin terjadi. Namun bencana ini terjadinya mempunyai skala waktu yang lama yaitu 1-2 juta tahun sekali
gambar 2
Gambar 2. Potensi Bencana Yellowstone
3. Supervolcano Yellowstone Sekarang dan Selanjutnya…???
Supervolcano terjadi ketika magma di dalam bumi naik ke kerak dari suatu hotspot namun tak mampu melewati kerak tersebut. Tekanan pada magma akan terus meningkat sampai kerak tak mampu lagi menahannya sehingga terbentuklahdaper magma. Ruang ini meningkat menjadi sebuah ukuran besar, membangun tekanan yang tinggi sampai akhirnya tererupsi. Ledakan yang terjadi akan mengeluarkan abu, debu, dan belerang dioksida ke atmosfir, yang akan menutup sinar matahari dan akan membuat gelombang dingin selama beberapa tahun. Tanaman pangan di banyak daerah akan mati sehingga banyak manusia dan hewan yang akan akan menghadapi kelaparan yang dapat menimbulkan kematian dalam skala yang besar
struktur yellowstone

Gambar 3. Struktur penampang geologi Yellowstone
Melihat kondisigeologi dan geofisika sekarang dapat diramalkan apa yang akan terjadi terhadap Yellowstone selanjutnya. Menurut banyak ahli Yellowstone telah memasuki siklus erupsinya kembali.

sumber:
http:// mazidash .wordpress. com/ 2009/ 05/ 25/ supervolcano- yellowstone- geodinamika/
posted by:
Cindy Annisa Firdausiah
270110090075

PERKEMBANGAN GEODINAMIKA INDONESIA DALAM KAITANNYA DENGAN GEODINAMIKA REGIONAL


Indonesia dikenal sebagai wilayah yang mempunyai tatanan geologi yang unik dan rumit. Keunikan dan keruwetan kondisi geologi ini sudah banyak diuraikan oleh para peneliti terdahulu dengan berbagai pendekatan konsep tektonik klasik / fixis. Konsep tektonik fixis adalah konsep yang berpandangan bahwa terbentuknya geosinklin sampai pegunungan terjadi pada tempat yang tetap (Sudradjat,1997).

Hubungan antar lempeng dapat bersifat menjauh (divergent), mendekat (convergent), berpapasan (strike-slip) dan miring (oblique). Pergerakan lempeng merupakan respon atas proses pendinginan bumi akibat kegiatan magmatisme di daerah pemekaran. Pergerakan lempeng dikontrol oleh sebaran lateral, densitas dan ketebalan kerak sebagai hasil utama pendinginan.
Konfigurasi tektonik saat ini merupakan representasi dari hasil pertemuan konvergen tiga lempeng sejak jaman Neogen. Pola dan perkembangan tektonik Indonesia lebih mudah dipahami dengan menerapkan pola pemikiran tektonik yang baru, yaitu berdasarkan pola pemikiran konsep tektonik mobilist, antar lain konsep pengapungan benua, konsep tektonik lempeng atau konsep tektonik global.

Berpangkal dari teori ini, kepulauan Indonesia dianggap sebagai jalur produk tumbukan 3 lempeng litosfer, yaitu:
(1) lempeng Indo-Australia, yang bergeser ke utara,
(2) lempeng Pasifik yang bergeser ke barat dan
(3) lempeng Asia Tenggara yang bergeser relatif ke Selatan.

Berdasarkan pengukuran Very-long Baseline Interferometry, VLBI (Pratt, 2001) diketahui bahwa saat ini lempeng samudera Indo-Australia, yang bergeser ke barat-laut dengan kecepatan rata-rata 5,5 – 7 cm/tahun; lempeng samudera Pasifik yang bergeser ke barat-laut dengan kecepatan rata-rata lebih dari 7 cm/tahun dan lempeng benua Asia Tenggara yang bergeser ke arah barat daya dengan kecepatan rata-rata 2,6 sampai 4,1 cm/tahun.

Busur Sunda: Produk 
Geodinamika Regional

Sistem penunjaman Sunda merupakan salah satu contoh yang baik untuk menunjukkan hubungan 
geodinamika Indonesia dengan geodinamika regional. Sistem penunjaman Sunda berawal dari sebelah barat Sumba, ke Bali, Jawa, dan Sumatera sepanjang 3.700 km, serta berlanjut ke Andaman-Nicobar dan Burma. Busur ini menunjukkan morfologi berupa palung, punggungan muka busur, cekungan muka busur, dan busur vulkanik. Arah penunjaman menunjukkan beberapa variasi, yaitu relatif menunjam tegak lurus di Sumba dan Jawa serta menunjam miring di sepanjang Sumatera, kepulauan Andaman dan Burma. Kemiringan ini terjadi karena adanya perbedaan arah gerak dengan arah tunjaman yang tidak 90o. Sistem penunjaman Sunda ini merupakan tipe busur tepi kontinen sekaligus busur kepulauan, yang berlangsung selama Kenozoikum Tengah – Akhir (Katili, 1989; Hamilton, 1989)

Menurut Hamilton (1989) Palung Sunda bukan menunjukkan batas litosfer samudera India, tetapi merupakan salah satu jejak sistem penunjaman busur Sunda. Penunjaman mempunyai kemiringan sekitar 7o. Sedimen dalam palung terdiri dari sedimen klastik turbidit longitudinal, serta menunjukkan pembentuk lantai samudera dan asal turbidit. Sedimen klastik tersebut terutama berasal dari Sungai Gangga dan Brahmaputra di India, yang berjarak 3.000 km dari palung.

Busur akresi terbentuk selebar 75 – 150 km dari palung dengan ketebalan material terakresi mencapai 15 km. Dinamika akresi dapat ditunjukkan oleh imbrikasi internal serta pertumbuhan vertikal dan horisontal material terakresi, yang merupakan hasil penggilasan simultan yang disertai pemencaran oleh gravitasi. Punggungan muka busur mengalami migrasi, relatif menuju ke arah kraton. Formasi bancuh di busur akresi dihasilkan oleh oleh penggerusan yang berhubungan dengan subduksi, bukan oleh luncuran di lereng punggungan akresi.
Cekungan muka busur berada di antara punggungan muka busur dan garis pantai sistem penunjaman Sunda dengan lebar 150 - 200 km. Bagian dasar cekungan Jawa dan Sumatera mempunyai kecepatan tipikal litosfer samudera, dengan kecepatan di sektor Sumatera lebih besar dari litosfer samudera.

Busur vulkanik yang sekarang aktif di atas zona Benioff berada pada kedalaman 100 – 130 km. Busur magmatik ini berubah dari kecenderungan bersifat kontinen di Sumatera, transisional di Jawa ke busur kepulauan (oceanic island arc) di Bali dan Lombok. Komposisi vulkanik muda bervariasi secara sistematis yang berkesesuaian antara karakter litosfer dengan magma yang dierupsikan.

Berdasarkan karakteristik morfologi, ketebalan endapan palung busur dan arah penunjaman, busur Sunda dibagi menjadi beberapa propinsi. Dari timur ke barat terdiri dari propinsi Jawa, Sumatera Selatan dan Tengah, Sumatera Utara – Nicobar, Andaman dan Burma. Diantara Propinsi Jawa dan Sumatera Tengah – Selatan terdapat Selat Sunda yang merupakan batas tenggara lempeng Burma.

Provinsi Jawa bermula dari Sumba sampai Selat Sunda. Di propinsi ini palung Sunda mempunyai kedalaman lebih dari 6.000 m. Saat ini konvergensi sepanjang propinsi Jawa mencapai 7,5 cm/tahun dengan sudut penunjaman antara 5o – 8o. Sedimen memiliki ketebalan antara 200 – 900 m. Imbrikasi di bawah punggungan muka busur mempunyai ketebalan lebih dari 10 km. Palung hanya berisi sedimen tipis dengan sedikit sedimen pelagis.

Kerangka tektonik utama antara Jawa dan Sumatera secara umum dipotong oleh selat Sunda yang dianggap sebagai zona diskontinyuitas. Selat Sunda adalah unsur utama pemisah propinsi Jawa dan Sumatera busur Sunda. Selat ini diasumsikan batas sebagai batas tenggara lempeng Burma. Namun apabila dicermati dari data geofisika tang ada, batas Jawa dan Sumatera terletak di sekitar Banten dan Jawa Barat.

Provinsi Sumatera Selatan dan Tengah mempunyai kedalaman palung yang berangsur menurun dari 6.000 – 5.000 m. Sedimen dasar palung mempunyai ketebalan sekitar 2 km di utara dan 1 km di selatan. Penunjaman miring dengan komponen penunjaman menurun ke utara antara 7,0 – 5,7 cm/tahun. Komponen pergeseran lateral yang bekerja di lempeng ini diasumsikan sangat berperan dalam membentuk sistem strike slip fault di Sumatera.

Pada Propinsi Sumatera Utara - Nikobar, di sebelah barat Pulau Simalur sumbu palung menajam ke barat, dan di barat-laut Pulau Simalur cenderung ke utara – barat-laut. Palung mempunyai kedalaman berkisar antara 3.500 – 5.000 m. Pertemuan di sepanjang propinsi ini sangat miring dan kecepatan penunjaman ke arah utara mengalami penurunan 5,6 – 4,1 cm/tahun.
Di Pulau Andaman palung cenderung berarah utara – selatan dengan kedalaman sekitar 3.000 m. Di propinsi ini pertemuan lempeng sangat miring, dengan kisaran kecepatan penunjaman berkisar antara 0,7 – 0,2 cm/tahun. Komponen lateral ini dipengaruhi oleh pemekaran di laut Andaman, dengan lempeng Burma memisah ke arah barat daya dari lempeng Eurasia.
Palung Burma mempunyai kedalaman kurang dari 3.000 m. Di sini punggungan muka busur menjadi punggungan Indoburman dan cekungan muka busur menjadi palung sebelah barat dari Lembah Burma. Sudut penunjaman yang sangat miring. Ketebalan endapan di propinsi ini sekitar 8.000 – 10.000 m. Komponen gerak lateral ini mempengaruhi terbentuknya sesar Sagaing di Burma.

Sesar Sumatra: Produk Geodinamika Busur Sunda

Sesar besar Sumatra dan Pulau Sumatra merupakan contoh rinci yang menarik untuk menunjukkan akibat tektonik regional pada pola tektonik lokal. Pulau Sumatera tersusun atas dua bagian utama, sebelah barat didominasi oleh keberadaan lempeng samudera, sedang sebelah timur didominasi oleh keberadaan lempeng benua. Berdasarkan gaya gravitasi, magnetisme dan seismik ketebalan lempeng samudera sekitar 20 kilometer, dan ketebalan lempeng benua sekitar 40 kilometer (Hamilton, 1979).

Sejarah tektonik Pulau Sumatera berhubungan erat dengan dimulainya peristiwa pertumbukan antara lempeng India-Australia dan Asia Tenggara, sekitar 45,6 juta tahun lalu, yang mengakibatkan rangkaian perubahan sistematis dari pergerakan relatif lempeng-lempeng disertai dengan perubahan kecepatan relatif antar lempengnya berikut kegiatan ekstrusi yang terjadi padanya. Gerak lempeng India-Australia yang semula mempunyai kecepatan 86 milimeter / tahun menurun secara drastis menjadi 40 milimeter/tahun karena terjadi proses tumbukan tersebut. Penurunan kecepatan terus terjadi sehingga tinggal 30 milimeter/tahun pada awal proses konfigurasi tektonik yang baru (Char-shin Liu et al, 1983 dalam Natawidjaja, 1994). Setelah itu kecepatan mengalami kenaikan yang mencolok sampai sekitar 76 milimeter/tahun (Sieh, 1993 dalam Natawidjaja, 1994).

Proses tumbukan ini, menurut teori “indentasi” pada akhirnya mengakibatkan terbentuknya banyak sistem sesar geser di bagian sebelah timur India, untuk mengakomodasikan perpindahan massa secara tektonik (Tapponier dkk, 1982).

Keadaan Pulau Sumatera menunjukkan bahwa kemiringan penunjaman, punggungan busur muka dan cekungan busur muka telah terfragmentasi akibat proses yang terjadi. Kenyataan menunjukkan bahwa adanya transtensi (trans-tension) Paleosoikum tektonik Sumatera menjadikan tatanan tektonik Sumatera menunjukkan adanya tiga bagian pola (Sieh, 2000).
Bagian selatan terdiri dari lempeng mikro Sumatera, yang terbentuk sejak 2 juta tahun lalu dengan bentuk, geometri dan struktur sederhana, bagian tengah cenderung tidak beraturan dan bagian utara yang tidak selaras dengan pola penunjaman.
Bagian selatan Pulau Sumatera memberikan kenampakan pola tektonik:
(1) Sesar Sumatera menunjukkan sebuah pola geser kanan en echelon dan terletak pada 100 ~ 135 kilometer di atas penunjaman,
(2) lokasi gunungapi umumnya sebelah timur-laut atau di dekat sesar,
(3) cekungan busur muka terbentuk sederhana, dengan kedalaman 1 ~ 2 kilometer dan dihancurkan oleh sesar utama,
(4) punggungan busur muka relatif dekat, terdiri dari antiform tunggal dan berbentuk sederhana,
(5) sesar Mentawai dan homoklin, yang dipisahkan oleh punggungan busur muka dan cekungan busur muka relatif utuh, dan
(6)sudut kemiringan tunjaman relatif seragam.

Bagian utara Pulau Sumatera memberikan kenampakan pola tektonik:
(1) sesar Sumatera berbentuk tidak beraturan, berada pada posisi 125 ~ 140 kilometer dari garis penunjaman,
(2) busur vulkanik berada di sebelah utara sesar Sumatera,
(3) kedalaman cekungan busur muka 1 ~ 2 kilometer,
(4) punggungan busur muka secara struktural dan kedalamannya sangat beragam,
(5) homoklin di belahan selatan sepanjang beberapa kilometer sama dengan struktur Mentawai yang berada di sebelah selatannya, dan
(6) sudut kemiringan penunjaman sangat tajam.

Bagian tengah Pulau Sumatera memberikan kenampakan tektonik:
(1) sepanjang 350 kilometer potongan dari sesar Sumatera menunjukkan posisi memotong arah penunjaman,
(2) busur vulkanik memotong dengan sesar Sumatera,
(3) topografi cekungan busur muka dangkal, sekitar 0.2 ~ 0.6 kilometer, dan terbagi-bagi menjadi berapa blok oleh sesar turun miring ,
(4) busur luar terpecah-pecah,
(5) homoklin yang terletak antara punggungan busur muka dan cekungan busur muka tercabik-cabik, dan
(6) sudut kemiringan penunjaman beragam.

Proses penunjaman miring di sekitar Pulau Sumatera ini mengakibatkan adanya pembagian / penyebaran vektor tegasan tektonik, yaitu slip-vector yang hampir tegak lurus dengan arah zona penunjaman yang diakomodasi oleh mekanisme sistem sesar anjak. Hal ini terutama berada di prisma akresi dan slip-vector yang searah dengan zona penunjaman yang diakomodasi oleh mekanisme sistem sesar besar Sumatera. Slip-vector sejajar palung ini tidak cukup diakomodasi oleh sesar Sumatera tetapi juga oleh sistem sesar geser lainnya di sepanjang Kepulauan Mentawai, sehingga disebut zona sesar Mentawai (Diament, 1992).

Selanjutnya sebagai respon tektonik akibat dari bentuk melengkung ke dalam dari tepi lempeng Asia Tenggara terhadap Lempeng Indo-Australia, besarnya slip-vector ini secara geometri akan mengalami kenaikan ke arah barat-laut sejalan dengan semakin kecilnya sudut konvergensi antara dua lempeng tersebut. Pertambahan slip-vector ini mengakibatkan terjadinya proses peregangan di antara sesar Sumatera dan zona penunjaman yang disebut sebagai lempeng mikro Sumatera (Suparka dkk, 1991). Oleh karena itu slip-vector komponen sejajar palung harus semakin besar ke arah barat-laut.

Sebagai konsekuensi dari kenaikan slip-vector pada daerah busur-muka ini, maka secara teoritis akan menaikkan slip-rate di sepanjang sesar Sumatera ke arah barat-laut. Pengukuran offset sesar dan penentuan radiometrik dari unsur yang terofsetkan di sepanjang sesar Sumatera membuktikan bahwa kenaikan slip-rate memang benar-benar terjadi (Natawidjaja, Sieh, 1994).
Pengukuran slip-rate di daerah Danau Toba menunjukkan kecepatan gerak sebesar 27 milimeter / tahun, di Bukit Tinggi sebesar 12 milimeter / tahun, di Kepahiang sebesar 11 milimeter / tahun (Natawidjaja, 1994) demikian pula di selat Sunda sebesar 11 milimeter / tahun (Zen dkk, 1991)

Sesar Sumatera sangat tersegmentasi. Segmen-segmen sesar sepanjang 1900 kilometer tersebut merupakan upaya mengadopsi tekanan miring antara lempeng Eurasia dan India–Australia dengan arah tumbukan 10°N ~ 7°S. Sedikitnya terdapat 19 bagian dengan panjang masing-masing segmen 60 ~ 200 kilometer, yaitu segmen Sunda (6.75°S ~ 5.9°S), segmen Semangko (5.9°S ~ 5.25°S), segmen Kumering (5.3°S ~ 4.35°S), segmen Manna (4.35°S ~ 3.8°S), segmen Musi (3.65°S ~ 3.25°S), segmen Ketaun (3.35°S ~ 2.75°S), segmen Dikit (2.75°S ~ 2.3°S), segmen Siulak (2.25°S ~ 1.7°S), segmen Sulii (1.75°S ~ 1.0°S), segmen Sumani (1.0°S ~ 0.5°S), segmen Sianok (0.7°S ~ 0.1°N), segmen Barumun (0.3°N ~ 1.2°N), segmen Angkola (0.3°N ~ 1.8°N), segmen Toru (1.2°N ~ 2.0°N), segmen Renun (2.0°N ~ 3.55°N), segmen Tripa (3.2°N ~ 4.4°N), segmen Aceh (4.4°N ~ 5.4°N), segmen Seulimeum (5.0°N ~ 5.9°N)
Tatanan tektonik regional sangat mempengaruhi perkembangan busur Sunda. Di bagian barat, pertemuan subduksi antara lempeng benua Eurasia dan lempeng samudra Australia mengkontruksikan busur Sunda sebagai sistem busur tepi kontinen (epi-continent arc) yang relatif stabil; sementara di sebelah timur pertemuan subduksi antara lempeng samudra Australia dan lempeng-lempeng mikro Tersier mengkontruksikan sistem busur Sunda sebagai busur kepulauan (island arc) kepulauan yang lebih labil.

Perbedaan sudut penunjaman antara propinsi Jawa dan propinsi Sumatera Selatan busur Sunda mendorong pada kesimpulan bahwa batas busur Sunda yang mewakili sistem busur kepulauan dan busur tepi kontinen terletak di selat Sunda. Penyimpulan tersebut akan menyisakan pertanyaan, karena pola kenampakan anomali gaya berat (gambar 2.6) menunjukkan bahwa pola struktur Jawa bagian barat yang cenderung lebih sesuai dengan pola Sumatera dibanding dengan pola struktur Jawa bagian Timur. Secara vertikal perkembangan struktur masih menyisakan permasalahan namun jika dilakukan pembangingan dengan struktur cekungan Sumatra Selatan, struktur-struktur di Pulau Sumatra secara vertikal berkembang sebagai struktur bunga.

Tektonik Indonesia Barat dan Timur

Pembahasan tatanan teknonik Indonesia menggunakan pendekatan tektonik lempeng telah lama dilakukan. Aplikasi teori ini untuk menerangkan gejala geologi regional di Indonesia dilakukan oleh Hamilton (1970, 1973, 1978), Dickinson (1971), dan Katili (1975, 1978, 1980). Secara setempat-setempat Audley-Charles (1974) menerapkan teori ini untuk menjelaskan gejala geologi kawasan Pulau Timor, Rab Sukamto (1975) dan Simanjuntak (1986) menerapkannya untuk memahami keruwetan Sulawesi.

Sartono (1990) mengemukakan bahwa tatanan tektonik Indoenesia selama Neogen yang dipengaruhi oleh tatanan geosinklin pasca Larami. Busur-busur geosiklin ini merupakan zona akibat proses tumbukan kerak benua dan samudra. Kerak benua yang bekerja pada waktu itu terdiri dari kerak benua Australia, kerak benua Cina bagian selatan, benua mikro Sunda, kerak samudra Pasifik, dan kerak samudra Sunda. Tumbukan Larami tersebut membentuk busur-busur geosinklin Sunda, Banda, Kalimantan utara dan Halmahera-Papua. Peta anomali gaya berat dapat menunjukkan dengan baik pola hasil tektonik ini.

Tatanan tektonik Indonesia bagian barat menunjukkan pola yang relatif lebih sederhana dibanding Indonesia timur. Kesederhanaan tatanan tektonik tersebut dipengaruhi oleh keberadaan Paparan Sunda yang relatif stabil. Pergerakan dinamis menyolok hanya terjadi pada perputaran Kalimantan serta peregangan selat Makassar. Hal ini terlihat pada pola sebaran jalur subduksi Indonesia Barat (Katili dan Hartono, 1983, dan Katili, 1986; dalam Katili 1989). Sementara keberadaan benua mikro yang dinamis karena dipisahkan oleh banyak sistem sesar (Katili, 1973 dan Pigram dkk., 1984 dalam Sartono, 1990) sangat mempengaruhi bentuk kerumitan tektonik Indonesia bagian timur.

Sumber:
http: // geo - 01. blogspot. com/ 2006/ 08/ perkembangan-geodinamika-indonesia . html
posted by:
Rina Nurani
270110090075